Tuesday, April 19, 2011

Furosemid

Komposisi :
  • Tablet 20 mg, 40 mg, 80 mg
  • Solusi oral: 10 mg / ml, 40 mg / 5 ml.
  • Injeksi: 10 mg / ml
Indikasi:
  • Pengobatan edema yang menyertai payah jantung kongestif, sirosis hati dan gangguan ginjal termasuk sindrom nefrotik.
  • Pengobatan hipertensi, baik diberikan tunggal atau kombinasi dengan obat antihipertensi.
  • Asites
  • Hiperkaliemia
  • Keracunan

Kontraindikasi:
  • Defisiensi elektrolit
  • Anuria
  • Koma hepatik kehamilan muda
  • Hipokalemia
  • Terapi bersama litium
  • Ibu menyusui: furosemide disekresi dalam ASI. Ibu menyusui harus menghindari menyusui saat mengambil furosemide.

Cara Kerja Obat
Furosemid adalah diuretik kuat (air pil) yang digunakan untuk menghilangkan air dan garam dari tubuh. Di ginjal, garam (terdiri dari natrium dan klorida), air, dan molekul kecil lainnya yang biasanya akan disaring keluar dari darah dan masuk ke dalam tubulus ginjal. Akhirnya cairan yang disaring menjadi air seni. Sebagian besar natrium, klorida dan air yang disaring dari darah diserap ke dalam darah sebelum cairan disaring menjadi air kencing dan dihilangkan dari tubuh. Furosemide bekerja dengan menghalangi penyerapan natrium, klorida, dan air dari cairan yang disaring dalam tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan yang mendalam output urin (diuresis).

Dosis:
Awal tindakan setelah oral adalah dalam waktu satu jam, dan diuresis berlangsung sekitar 6-8 jam. Tindakan awal setelah injeksi adalah lima menit dan durasi diuresis adalah dua jam. Efek yang diuretik furosemide dapat menyebabkan penurunan natrium, klorida, tubuh air dan mineral lainnya. Oleh karena itu, berhati-hati pengawasan medis yang diperlukan selama perawatan. Furosemide disetujui FDA pada bulan Juli 1982. Cara terbaik adalah untuk mengambil obat ini di awal hari, sebelum 4-6, untuk mencegah harus bangun sepanjang malam untuk buang air kecil.

Dewasa:
  • Dosis awal 20-80 mg oral sebagai dosis tunggal.
  • Dosis yang sama atau peningkatan dosis dapat diberikan 6-8 jam kemudian.
  • Dosis dapat ditingkatkan 20-40 mg setiap 6-8 jam sampai efek yang diinginkan terjadi.
  • Dosis yang efektif dapat diberikan sekali atau dua kali sehari. Beberapa pasien mungkin memerlukan 600 mg setiap hari.

Anak-anak:
  • Dosis oral awal adalah 2 mg / kg.
  • Dosis awal dapat ditingkatkan dengan 1-2 mg / kg setiap 6 jam sampai efek yang diinginkan tercapai.
  • Dosis lebih besar dari 6 mg / kg tidak dianjurkan.
  • Dosis yang dianjurkan untuk mengobati hipertensi adalah 40 mg dua kali sehari.

Efek Samping:
Efek samping yang umum dari furosemide termasuk tekanan darah rendah, dehidrasi dan elektrolit penipisan (misalnya, natrium, kalium). Efek samping yang kurang umum termasuk penyakit kuning, dering di telinga (tinnitus), kepekaan terhadap cahaya (ketakutan dipotret), ruam, pankreatitis, mual, diare, sakit perut, dan pusing. Peningkatan gula darah dan kadar asam urat juga dapat terjadi. Pusing, sakit kepala ringan, sakit kepala, penglihatan kabur, kehilangan nafsu makan, sakit perut, diare, atau konstipasi dapat terjadi karena tubuh menyesuaikan obat.

Kejang otot atau kelemahan, kebingungan, pusing berat, mengantuk, mulut kering yang tidak biasa atau haus, mual atau muntah, cepat / tidak beraturan detak jantung, penurunan yang tidak biasa jumlah urin, pingsan, kejang-kejang. Efek samping yang serius dapat terjadi seperti mati rasa / kesemutan dari lengan / kaki, dering di telinga, gangguan pendengaran, tanda-tanda infeksi (misalnya, demam, sakit tenggorokan persisten), mudah perdarahan atau memar, menguning mata / kulit . Serius reaksi alergi terhadap obat ini tidak mungkin, tetapi segera mencari bantuan medis jika terjadi. Gejala reaksi alergi yang serius termasuk: ruam, gatal, bengkak, pusing berat, sesak napas.

Interaksi obat:
  • Cisapride
  • Ethacrynic asam.
  • Antibiotik aminoglikosida seperti (gentamisin, tobramisin)
  • Amfoterisin B
  • Cholestyramine
  • Sisplatin
  • Colestipol
  • Kortikosteroid (misalnya prednison)
  • Digoxin
  • Lithium
  • Non-steroid anti-inflammatory drugs (NSAIDs seperti ibuprofen)
  • Sucralfate.

Cara Penyimpanan:
  • Furosemid harus disimpan pada suhu kamar dalam wadah tahan cahaya

Captopril

Komposisi:
  • Setiap tablet mengandung captopril 12,5 mg.
  • Setiap tablet mengandung captopril 25 mg.
  • Setiap tablet mengandung captopril 50 mg.
Indikasi:
  • Hipertensi
  • Chronic heart failure
  • Miokardial infarction
  • Diabetic nefropathy

Kontra Indikasi:
  • Keamanan penggunaan pada wanita hamil belum terbukti, bila terjadi kehamilan selama pemakaian obat ini, maka pemberian obat harus dihentikan dengan segera.
  • Harus diberikan dengan hati-hati pada wanita menyusui, pemberian ASI perlu dihentikan karena ditemukan kadar dalam ASI lebih tinggi daripada kadar dalam darah ibu.
  • Penderita yang hipersensitif terhadap captopril atau penghambat ACE lainnya
  • Angioedema (hereditary/idiopathic dengan ace inhibitor)

Cara Kerja Obat:

Captopril merupakan obat antihipertensi dan efekif dalam penanganan gagal jantung dengan cara supresi sistem rennin-angiotensin-aldosteron. Renin adalah enzim yang dihasilkan ginjal dan bekerja pada globulin plasma untuk memproduksi angiotensin I yang besifat inaktif. "Angiotensin Converting Enzyme" (ACE), akan merubah angiotensin I menjadi angiotensin Il yang besifat aktif dan merupakan vasokonstriktor endogen serta dapat menstimulasi sintesa dan sekresi aldosteron dalam korteks adrenal.

Peningkatan sekresi aldosteron akan mengakibatkan ginjal meretensi natrium dan cairan, serta meretensi kalium. Dalam kerjanya, captopril akan menghambat kerja ACE, akibatnya pembentukan angiotensin ll terhambat, timbul vasodilatasi, penurunan sekresi aldosteron sehingga ginjal mensekresi natrium dan cairan serta mensekresi kalium. Keadaan ini akan menyebabkan penurunan tekanan darah dan mengurangi beban jantung, baik 'afterload' maupun 'pre-load', sehingga terjadi peningkatan kerja jantung. Vasodilatasi yang timbul tidak menimbulkan reflek takikardia.

Dosis:
Captopril harus diberikan 1 jam sebelum makan, dosisnya sangat tergantung dari kebutuhan penderita (individual).
Dewasa:
  • Hipertensi, dosis awal: 12,5 mg tiga kali sehari.
  • Bila setelah 2 minggu, penurunan tekanan darah masih belum memuaskan maka dosis dapat ditingkatkan menjadi 25 mg tiga kali sehari. Bila setelah 2 minggu lagi, tekanan darah masih belum terkontrol sebaiknya ditambahkan obat diuretik golongan tiazida misal hidroklorotiazida 25 mg setiap hari. Dosis diuretik mungkin dapat ditingkatkan pada interval satu sampai dua minggu. Maksimum dosis captopril untuk hipertensi sehari tidak boleh lebih dari 450 mg.
  • Gagal jantung 12,5- 25 mg tiga kali sehari; diberikan bersama diuretik dan digitalis, dari awal terapi harus dilakukan pengawasan medik secara ketat.
  • Untuk penderita dengan gangguan fungsi ginjal dsiis perlu dikurangi disesuaikan dengan klirens kreatinin penderita.

Peringatan dan Perhatian:
  • Pemberian pada anak-anak masih belum diketahui keamanannya, sehingga obat ini hanya diberikan bila tidak ada obat lain yang efektif.
  • Pemakaian pada lanjut usia harus hati-hati karena sensitivitasnya terhadap efek hipotensif. Hati-hati pemberian pada penderita penyakit ginjal.
  • Pengobatan agar dihentikan bila terjadi gejala-gejala angiodema seperti bengkak mulut, mata, bibir, lidah, laring juga sukar menelan, sukar bernafas dan serak.
  • Konsultasikan ke dokter bila menggunakan suplemen potassium, potassium sparing diuretic dan garam-garam polassium.
  • Pemakaian obat penghambat ACE pada kehamilan dapat menyebabkan gangguan/kelainan organ pada fetus atau neonatus, bahkan dapat menyebabkan kematian fetus atau neonatus.
  • Pada kehamilan trimester ll dan lll dapat menimbulkan gangguan antara lain: hipotensi, hipoplasiatengkorak neonatus, anuria, gagal ginjal reversible atau irreversible dan kematian. Juga dapat terjadi oligohidramnios, deformasi kraniofasial, perkembangan paru hipoplasi, kelahiran prematur, perkembangan retardasi-intrauteri, paten duktus arteriosus.
  • Bayi dengan riwayat di mana selama di dalam kandungan ibunya mendapat pengobatan penghambat ACE, harus diobservasi intensif tentang kemungkinan terjadinya hipotensi, oligouria dan hiperkalemia.

Efek Samping:
Captopril menimbulkan proteinuria lebih dari 1 g sehari pada 0,5% penderita dan pada 1,2% penderita dengan penyakit ginjal. Dapat tejadi sindroma nefrotik serta membran glomerulopati pada penderita hipertensi. Karena proteinuria umumnya terjadi dalam waktu 8 bulan pengobatan maka penderita sebaiknya melakukan pemeriksaan protein urin sebelum dan setiap bulan selama 8 bulan pertama pengobatan.

Neutropenia/agranulositosis terjadi kira-kira 0,4 % penderita. Efek samping ini terutama terjadi pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal. Neutropenia ini muncul dalam 1 - 3 bulan pengobatan, pengobatan agar dihentkan sebelum penderita terkena penyakit infeksi. Pada penderita dengan resiko tinggi harus dilakukan hitung leukosit sebelum pengobatan, setiap 2 minggu selama 3 bulan pertama pengobatan dan secara periodik. Pada penderita yang mengalami tanda-tanda infeksi akut (demam, faringitis) pemberian captopril harus segera dihentikan karena merupakan petunjuk adanya neutropenia.

Hipotensi dapat terjadi 1 - 1,5 jam setelah dosis pertama dan beberapa dosis berikutnya, tapi biasanya tidak menimbulkan gejala atau hanya menimbulkan rasa pusing yang ringan. Tetapi bila mengalami kehilangan cairan, misalnya akibat pemberian diuretik, diet rendah garam, dialisis, muntah, diare, dehidrasi maka hipotensi tersebut menjadi lebih berat. Maka pengobatan dengan captopril perlu dilakukan pengawasan medik yang ketat, terutama pada penderita gagal jantung yang umumnya mempunyai tensi yang nomal atau rendah. Hipotensi berat dapat diatasi dengan infus garam faal atau dengan menurunkan dosis captopril atau diuretiknya.

Sering terjadi ruam dan pruritus, kadang-kadang terjadi demam dan eosinofilia. Efek tersebut biasanya ringan dan menghilang beberapa hari setelah dosis diturunkan. Teriadi perubahan rasa (taste alteration), yang biasanya terjadi dalam 3 bulan pertama dan menghilang meskipun obat diteruskan.
Retensi kalium ringan sering terjadi, terutama pada penderita gangguan ginjal, sehingga perlu diuretik yang meretensi kalium seperti amilorida dan pemberiannya harus dilakukan dengan hati-hati.

Interaksi Obat:
  • Alkohol
  • Obat anti inflamasi terutama indometasin.
  • Suplemen potassium atau obat yang mengandung potassium.
  • Obat-obat berefek hipotensi.
Cara penyimpanan:
  • Simpan di tempat sejuk dan kering, terlindung dari cahaya.

ALERGI OBAT

Definisi
Alergi obat adalah suatu reaksi imun yang timbul karena obat. Reaksi ini terdiari dari dua fase, yaitu: fase pertama induksi dari respon imun spesifik terhadap paparan alergen yang pertama, yang diikuti oleh, fase kedua reaksi alergi (eksitasi), timbulnya gejala karena terpapar lagi dengan obat tersebut.

Patogenesis

Pada reaksi alergi obat yang terjadi adalah salah satu dari empat reaksi Gell-Coombs, yaitu reaksi hipersensitivitas tipe II (Reaksi Sitotoksik Yang Memerlukan Bantuan Antibodi). Baik reaksi tipe II maupun reaksi tipe III melibatkan IgG dan IgM. Perbedaannya adalah bahwa pada reaksi tipe II antibodi ditujukan kepada antigen yang terdapat pada permukaan sel atau jaringan tertentu, sedangkan pada reaksi tipe III antibodi ditujukan kepada antigen yang terlarut dalam serum. Jadi pada reaksi tipe II, antibodi dalam serum bereaksi dengan antigen yang berada pada permukaan suatu sel atau merupakan komponen membran sel tertentu yang menampilkan antigen bersangkutan. Reaksi hipersensitivitas terhadap obat dapat timbul dalam berbagai bentuk:
  • Obat melekat pada eritrosit kemudian dibentuk antibodi terhadap obat. Dalam hal ini baik obat maupun antibodi harus ada untuk menyebabkan reaksi.
  • Kompleks imun yang terdiri atas obat dan antibodi melekat pada permukaan eritrosit. Kerusakan sel terjadi akibat lisis oleh komplemen yang diaktivasi oleh kompleks antigen-antibodi tersebut.
  • Obat menyebabkan reaksi alergi dan autoantibodi ditujukan kepada antigen eritrosit sendiri.
Obat tampaknya membentuk suatu kompleks antigenik dengan permukaan suatu elemen yang ada pada darah, dan merangsang pembentukan antibodi yang bersifat sitotoksik bagi kompleks obat-sel itu. Bila obat dihentikan kepekaan itu akan hilang tidak lama kemudian. Sebagai contoh mekanisme ini telah ditentukan pada anemia hemolitik yang kadang-kadang dihubungkan dengan pemakaian terus-menerus klorpromazin atau fenasetin, pada agranulositosis yang dihubungkan dengan pemakaian amidopirin atau quinidine dan pada keadaan klasik purpura trombositopenia yang mungkin disebabkan oleh sedormid, serum segar yang diambil dari penderita dapat melisiskan trombosit, sedang tanpa sedormid hal ini tidak akan terjadi; pemanasan sebelumnya pada suhu 56oC selama 30 menit akan menjadikan komplemen tidak aktif dan menghilangkan efek tersebut.

Selain reaksi tipe II, reaksi hipersensitivitas terhadap obat dapat timbul sebagai reaksi anafilaktik apabila melibatkan IgE, reaksi tipe III bila obat berinteraksi dengan protein, atau reaksi tipe IV pada obat yang digunakan topikal.
Pada hipersensitivitas tipe II, mekanisme reaksinya adalah sebagai berikut :

Mekanisme yang terlibat dalam reaksi hipersensitivitas tipe II
Diagnosis ditegakkan dengan bantuan anamnesis (Prof. Dr. dr. Heru Sundaru SpPD(K), 2003) :
  1. Riwayat penyakit alergi karena obat, kapan, berapa lama timbulnya reaksi, setelah makan obat apa.
  2. Gejala-gejala yang ada dan pemeriksaan fisik secara menyeluruh.
  3. Obat-obatan yang sering menimbulkan alergi.
Golongan Hapten
Golongan Antigen
Penisilin
Insulin
Cephalosporin
Ensim (kimopapain, asparkinase)
Sulfonamid (termasuk antimikrobial, sulfasalasin, obat oral hipoglikemik, golongan thiazid, diazoxide
Antioxin asing
Obat relaksasi
Ekstrak organ (ACTH, Hormon)
Obat antituberkulosa
Vaksin dan lain-lain
Obat antikonvulsan/ anti kejang

Thiopental

Quinidine

Cis-Platinum

Pengobatan Alergi Obat
  • Obat-obatan : antihistamin, steroid, bila terjadi reaksi anafilaksis beri adrenalin 1/1000 sc dan pengobatan sesuai seperti reaksi anafilaksis karena sebab lain.
  • Menghindari alergen penyebab.
  • Pengobatan lain dengan cara desensitisasi

REFERENSI
1. Boedina, Siti. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Edisi 3. Fakultas Kedokteran UI. Jakarta: 1996.
2. Roitt, Ivan, Jonathan Brostoff, David Male. Immunology. Second ed. Harper&Row Publishers Inc. New York: 1989. Bab 19 – bab 22.
3. Mahdi, prof. Dr. dr. Hj. A. Dinajani S. Abadin H. SpPD, KAI-SH. Penatalaksanaan Penyakit Alergi edisi ke-2. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2008. Hal: 124-126.

Diagnosis Chronic Heart Failure (CHF)

Kriteria Framingham

Kriteria Mayor

Kriteria Minor

Paroksismal noctural dispne (POD)

Edema ekstemitas

Distensi vena leher

Batuk pada malam hari

Rhonki basah halus

Dispne d’effort

Kardiomegali

Hepatomegali

Edema paru akut

Efusi pleura

Suara tambahan jantung S3 (gallop)

Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal

Peninggian tekanan vena jugularis (JVP)

Takikardia (>120/ menit)

Refluks hepatojugular


Diagnosis CHF ditegakkan minimal ada 1 kriteria major dan 2 kriteria minor atau 2 kriteria mayor atau terdapat kriteria mayor/minor dan terjadi penurunan BB> 4.5 kg dalam 5 hari pengobatan.


NYHA klasifikasi fungsional:

Kelas I

Bila pasien dapat melakukan aktivitas berat tanpa keluhan

Kelas II

Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas lebih berat dari aktivitas sehari hari tanpa keluhan

Kelas III

Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari hari tanpa keluhan

Kelas IV

Bila pasien sama sekali tidak dapat melakukan aktivits apapun dan harus tirah baring.



REFERENSI

  • Sudoyo, Aru W., dkk. Buku ajar ilmu penyakit dalam jil:I ed:V. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta: 2009.HAL: 1597
  • Murphy, Joseph G., Lloyd, Margareth A., dkk. Mayo Clinic Cardiology 3th edition. MAYO CLINIC SCIENTIFIC PRESSAND INFORMA HEALTHCARE USA, INC. Canada: 2007. Page: 741-742.